Kabupaten Kerinci: Antara Keindahan dan Kekhawatiran
Kabupaten Kerinci, salah satu surga tersembunyi di Provinsi Jambi, dulunya dikenal sebagai daerah yang kaya akan adat istiadat, budaya, serta keindahan alam yang memukau. Siapa yang bisa menolak pesona Danau Kerinci atau sejuknya udara pegunungan yang menyelimuti kawasan ini? Tapi di balik keindahan itu, perlahan-lahan ada hal-hal yang mulai memudar, bahkan hilang. Bukan sekadar bangunan tua atau tradisi kecil yang tak lagi dipraktikkan, tapi nilai-nilai, kebersamaan, dan warisan yang seharusnya jadi identitas orang Kerinci itu sendiri
Budaya Lokal Mulai Pudar
Bahasa Daerah yang Mulai Terlupakan
Bahasa daerah adalah identitas. Tapi di banyak desa di Kerinci, anak-anak muda sudah mulai jarang menggunakan bahasa ibu mereka. Mereka lebih nyaman menggunakan Bahasa Indonesia, bahkan bahasa gaul media sosial. Ironisnya, generasi muda yang lahir dan besar di Kerinci justru bisa jadi lebih fasih bahasa luar ketimbang bahasa daerah sendiri. Ini bukan salah mereka semata. Kurangnya pelestarian bahasa daerah di rumah dan lingkungan pendidikan jadi penyebab utama. Padahal, hilangnya bahasa berarti hilangnya cara pandang, cara merasa, dan sejarah panjang dari sebuah komunitas
Upacara Adat Tinggal Seremonial
Dulu, upacara adat seperti Kenduri Sko, Kenduri Rajo, atau tradisi membuka ladang dilakukan dengan penuh makna dan melibatkan banyak elemen masyarakat. Sekarang, sebagian besar upacara adat ini hanya muncul saat acara seremonial, itupun kadang hanya demi menarik wisatawan. Makna-makna filosofis di baliknya mulai menghilang. Generasi muda pun makin tak tahu, bahkan tak peduli. Yang tersisa hanya kostum, properti, dan sedikit pertunjukan, tapi ruh adatnya perlahan menghilang
Alam Kerinci yang Tak Lagi Perawan
Gunung dan Hutan yang Mulai Tergerus
Kerinci tak bisa dilepaskan dari identitasnya sebagai kawasan pegunungan yang subur dan hijau. Tapi hutan yang dulunya lebat kini mulai berkurang. Pembukaan lahan, pembalakan liar, dan perambahan kawasan konservasi terus terjadi. Gunung Kerinci mungkin masih berdiri kokoh, tapi kawasan sekitarnya mulai menunjukkan kerusakan yang nyata. Satwa langka yang dulu sering terlihat kini makin sulit ditemukan. Sungai-sungai kecil mulai mengering. Bahkan kualitas udara yang dulunya sejuk kini mulai terasa berbeda
Danau Kerinci dan Cerita yang Mulai Hilang
Danau Kerinci bukan cuma destinasi wisata, tapi juga tempat penuh legenda dan nilai spiritual. Tapi seiring waktu, danau ini tak hanya tercemar oleh limbah rumah tangga dan pertanian, tapi juga kehilangan cerita-cerita rakyatnya. Dulu ada kisah Nenek Empuk, cerita rakyat tentang asal mula danau yang selalu diceritakan turun-temurun. Sekarang, cerita itu hanya hidup di buku atau orang-orang tua. Anak-anak zaman sekarang lebih mengenal karakter animasi daripada legenda lokal mereka sendiri
Masyarakat yang Mulai Individualis
Dulu Komunal, Sekarang Serba Sendiri
Salah satu ciri khas masyarakat Kerinci dulu adalah semangat gotong royong yang kuat. Apapun kegiatan, mulai dari membangun rumah, panen padi, hingga acara adat selalu dilakukan bersama-sama. Tapi sekarang, individualisme mulai merasuki desa-desa. Orang-orang lebih sibuk dengan urusan masing-masing, apalagi sejak internet masuk ke pelosok. Gotong royong mulai langka, dan rasa saling peduli mulai menipis. Sekat sosial makin terasa. Bahkan banyak warga muda lebih memilih merantau karena merasa “nggak betah” tinggal di kampung
Hilangnya Kepemimpinan Tradisional
Dulu, peran ninik mamak, penghulu adat, dan tetua kampung sangat dihormati. Mereka bukan cuma pemimpin spiritual atau sosial, tapi juga penjaga nilai-nilai dan identitas Kerinci. Kini, banyak di antara mereka yang tak lagi dilibatkan dalam keputusan penting masyarakat. Keputusan banyak bergeser ke tangan kepala desa atau aparat formal, dan adat mulai dikesampingkan. Tanpa peran tokoh adat, masyarakat kehilangan kompas moral dan budaya yang selama ini menjaga keharmonisan
Modernisasi: Antara Harapan dan Ancaman
Internet Masuk, Budaya Lokal Keluar?
Internet membawa banyak manfaat, mulai dari akses informasi sampai peluang usaha. Tapi di sisi lain, budaya lokal seringkali tersingkir oleh budaya luar yang lebih populer. Anak-anak muda Kerinci sekarang lebih tahu tentang tren TikTok dan drama Korea daripada sejarah nenek moyang mereka sendiri. Gawai dan media sosial menciptakan dunia baru, tapi juga menjauhkan dari akar mereka. Ini bukan berarti internet harus dijauhi, tapi perlu ada keseimbangan agar budaya lokal tidak tenggelam
Pendidikan Modern yang Terlalu Umum
Sistem pendidikan formal di Kerinci saat ini banyak menekankan kurikulum nasional, dan minim muatan lokal. Padahal seharusnya sekolah-sekolah bisa jadi benteng terakhir pelestarian budaya. Kenapa nggak ada pelajaran khusus tentang cerita rakyat Kerinci, tata cara adat, atau bahkan seni musik dan tari lokal? Kalau pendidikan tidak memberi ruang untuk budaya lokal, maka generasi mendatang hanya akan jadi penonton saat identitas mereka sendiri menghilang
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Menghidupkan Kembali Tradisi di Rumah
Pelestarian budaya dimulai dari rumah. Orang tua harus mulai kembali mengenalkan bahasa daerah, cerita rakyat, dan nilai-nilai adat kepada anak-anak mereka. Jangan tunggu sekolah atau pemerintah. Kalau bukan dari rumah, dari mana lagi anak-anak akan mengenal jati diri mereka?
Libatkan Anak Muda dalam Budaya
Jangan salah, anak muda bukan anti budaya. Mereka hanya butuh pendekatan yang relevan. Kenalkan budaya lewat cara yang mereka sukai—misalnya lewat video kreatif, musik modern yang di-mix dengan nada tradisional, atau pertunjukan seni yang dikemas kekinian. Jadikan budaya lokal sebagai sesuatu yang keren, bukan kuno
Pemerintah dan Komunitas Harus Bergerak
Pemerintah daerah dan komunitas budaya di Kerinci perlu lebih aktif dalam membuat program pelestarian. Mulai dari festival budaya rutin, lomba karya tulis tentang sejarah Kerinci, hingga pelatihan bahasa daerah di sekolah-sekolah. Dana desa bisa diarahkan ke kegiatan semacam ini, karena pelestarian budaya juga bagian dari pembangunan manusia
Jangan Sampai Hanya Jadi Nama
Kerinci bukan cuma soal gunung dan danau. Ia adalah kumpulan sejarah, budaya, dan kisah manusia yang harus dijaga. Jangan sampai nanti kita cuma bisa bilang “dulu di Kerinci ada tradisi ini” atau “dulu bahasa daerahnya begini”. Kita harus bergerak sekarang, sebelum semua benar-benar hanya jadi nama dalam buku sejarah. Karena yang hilang dari Kerinci bukan hanya benda atau bangunan, tapi jati diri. Dan tanpa jati diri, kita cuma akan jadi bayangan dari masa lalu yang tak lagi utuh